Pileg Dan Pilpres Perdulikah Rakyat
Pileg dan Pilpres, masih perdulikah rakyat memikirkan itu?
Ditengah malam saya bermimpi (kira - kira lho.. sebab mimpi kan nggak tahu jam). Saya menjadi rakyat sebuah negeri yang bernama negeri "Khayalan". Di negeri ini rakyatnya sudah tidak mau perduli lagi dengan hajatan pileg (pilihan anggota legislatif) dan Pilpres (Pilihan Presiden}.
Beda dengan negara tetangganya yang bernama Indonesia dimana pileg diikuti dengan antusias oleh warga negaranya dan sukses. Di Negara "Khayalan" keleluasaan jam kantor untuk pileg justru dipakai untuk liburan keluarga, surat undangan pileg malah dijadikan bungkus kacang goreng, teriakan ajakan Pak Camat dan Pak Lurah justru diterjemahkan oleh warganya seolah - olah sebuah perintah untuk tetap angon (mengembala) sapi atau kerbau, tetap macul (nyangkul), dan tetap ngrongsok (jadi pemulung).
Kenapa hal itu bisa terjadi? Setelah saya nongkrong sana nongkrong sini, di sekolahan, di sawah, di pasar dan diwarung kopi, ternyata alasan mereka sangat sederhana dan mendasar.
Pertama:
Mereka menganggap bahwa badan yang bernama legislatif itu katanya wakil rakyat, tapi kenyataannya badan legislatif justru menyengsarakan rakyat. Buktinya? Negara sampai saat ini masih kekurangan pangan / beras (kok ? bukannya negara ini adalah negara agraris? ). Buktinya? pemerintah dengan teriakan amiiinnn dari legislatif seolah - olah wajib dan harus import beras dari negara tetangganya dengan dalih agar stock beras tercukupi dan rakyat tidak kelaparan.
Sebegitu parahkan, begitu goblokkah petani negeri ini ? Megapa tidak memperbaiki sistem pertanian yang ada? Bukankah dinegeri ini banyak orang pintar? Atau ada hal lain yang menjadi target oknum tertentu?
Kedua:
Sama dengan alasan yang pertama. Dinegeri ini banyak sekali petani dan peternak sapi, kerbau, jangkrik, semut dan lain sebagainya. Kenapa daging menjadi komoditi mahal di negeri ini sehingga harus import? Kalau memang daging sapi negeri ini kurang bermutu, begitu linglungkah para pakar dan insinyur peternakan kita? sehingga tidak bisa memperbaiki keadaan?
Perbaikan sistem pertanian dan peternakan tidak nampak nyata di mata rakyat. Dan rakyat tidak merasakan apa - apa dari dewan wakil rakyat yang di percayainya. Import lagi... terus... terus dan terus selama bertahun - tahun. Semakin lama malah semakin menjadi jadi, semakin bablas seperti sepeda ontel pakai rem sandal jepit.
Sudah terlalu banyakkah hutang negara ini sama negara lain? Sudah takutkah negara ini terhadap negara luar yang berdalih "perdagangan global?" Ataukah oknum dari legislatif dan departemen tertentu dapat keuntungan komisi besar terhadap kebijakan import yang di lakukan ?
Semua itu saya tidak tahu karena belum pernah masuk dalam kedua lembaga itu. Yang saya tahu hanyalah untuk menjadi anggota dewan legislatif dan aparat pemerintah yang memegang kuasa atas import membutuhkan uang yang tidak sedikit meskipun mereka pintar dan cerdas. Itupun susah membuktikannya secara hukum.
Saat bangun saya berdoa, semoga apa yang terjadi di negeri "Khayalan" tidak terjadi di Indonesia.